hoithuoc247 – Saat Tentara Nasional Indonesia (TNI) mulai memproduksi obat murah lewat jalur resmi dan didistribusikan ke desa-desa, banyak pihak langsung menaruh perhatian. Bukan hanya karena ini langkah tak biasa dari lembaga militer, tapi karena dampaknya yang terasa hingga ke pemain besar di sektor farmasi swasta. Isu ini bukan sekadar soal obat generik dan efisiensi anggaran, tetapi menyentuh urat nadi ekonomi dan politik industri kesehatan Indonesia.
Awal Mula Program TNI Produksi Obat Murah
Program ini berakar dari inisiatif TNI Farmasi Pertahanan yang sudah dirintis sejak 2023 dan resmi diluncurkan publik melalui unit yang dikenal sebagai Koperasi Merah Putih. Produksi dilakukan di fasilitas yang awalnya milik farmasi militer, kemudian dikembangkan menjadi industri mini skala nasional. Obat-obatan yang dihasilkan antara lain antibiotik, antihipertensi, dan vitamin esensial.
Tujuan awalnya sederhana: menyediakan harga obat terjangkau untuk wilayah terpencil yang sulit dijangkau distribusi swasta. Tapi efek domino-nya sangat luas.
Distribusi Langsung ke Desa oleh Koperasi Merah Putih
Uniknya, TNI tak hanya memproduksi, tapi juga langsung mendistribusikan obat ke desa-desa melalui jaringan koperasi militer yang sudah lama eksis. Warga bisa membeli obat tanpa markup harga dari distributor atau apotek. Beberapa desa di Jawa Tengah dan Kalimantan dilaporkan sudah mendapat pasokan secara berkala.
Warga pun menyambut baik. “Biasanya obat hipertensi saya Rp120 ribu per strip. Sekarang cuma Rp40 ribu, dan kualitasnya bagus,” ujar Sutarti (58), warga Desa Karangjati.
Industri Farmasi Swasta Gelisah
Langkah TNI ini membuat apotek dan distributor swasta kelimpungan. Mereka menganggap kehadiran aktor baru dengan daya logistik kuat seperti TNI bisa menekan harga pasar secara drastis. Bahkan ada kekhawatiran monopoli tersembunyi yang berbahaya dalam jangka panjang.
Asosiasi Pengusaha Farmasi Indonesia (APFI) menyampaikan keberatannya. “Kami khawatir, ini bukan sekadar solusi kesehatan, tapi ancaman bagi keberlangsungan bisnis ribuan apotek,” kata Ketua Umum APFI.
Benarkah TNI Masuk ke Industri Sipil?
Kritik juga datang dari kalangan akademisi. Mereka mempertanyakan apakah TNI melanggar batas fungsi militer jika terlalu dalam masuk ke industri sipil. Peran militer di sektor farmasi dianggap bukan bagian dari tugas pokok pertahanan negara.
Namun, Panglima TNI menjawab dengan lugas, “Kami membantu negara, bukan menggantikan sektor swasta. Fokus kami adalah jaminan obat murah dan berkualitas, terutama di wilayah yang belum terlayani.”
Bagaimana Kualitas Obat TNI?
Pertanyaan utama tentu pada kualitas. BPOM turut mengawasi setiap batch produksi obat TNI, dengan audit ketat setara industri farmasi pada umumnya. Sejauh ini, tak ada laporan negatif dari pasien yang menggunakan produk tersebut.
Dosen Farmasi Universitas Indonesia menyebut, “Secara kimiawi, kualitas obat TNI tergolong stabil, formulanya mengikuti standar WHO. Yang membedakan hanyalah margin keuntungan.”
Obat Murah Desa, Efek Sosial yang Nyata
Di desa terpencil seperti Balinggi, Sulawesi Tengah, akses obat sering kali jadi masalah. Harga melambung, stok tak tersedia. Dengan obat murah dari TNI, masyarakat merasa dimanusiakan. Ada dampak sosial signifikan dari program ini yang sering luput dari sorotan media.
Warga yang sebelumnya enggan berobat karena biaya kini lebih berani memeriksakan diri. Hal ini bisa mengurangi beban rumah sakit besar di kota karena penyakit kronis ditangani sejak dini.
Kemandirian Farmasi atau Sentralisasi?
Banyak pengamat menyebut program ini sebagai bentuk awal dari kemandirian farmasi nasional, terutama di tengah ancaman krisis bahan baku global. Namun, sebagian lain melihat potensi sentralisasi produksi yang bisa membuat sistem terlalu bergantung pada satu institusi.
Jika TNI terus berkembang dalam sektor ini tanpa pengawasan sipil, maka bukan tak mungkin muncul ketimpangan baru—antara akses dan kontrol.
Perlu Sinergi, Bukan Dominasi
Solusi ideal adalah kolaborasi. Pemerintah bisa menjadikan TNI sebagai backup logistik dan penyedia darurat di wilayah tertentu, namun tetap melibatkan produsen farmasi lokal dan apotek swasta dalam skema yang adil.
TNI pun harus membuka laporan publik soal anggaran, efektivitas distribusi, dan dampaknya agar tidak terjebak dalam persepsi negatif.
Transparansi adalah Kunci Kepercayaan
Agar peran militer dalam distribusi obat ini tidak menjadi polemik berkepanjangan, kunci utamanya adalah transparansi. Mulai dari harga, rantai pasok, hingga jumlah produksi. Dengan begitu, masyarakat tahu bahwa niatnya memang murni untuk membantu, bukan mengambil alih pasar.
Jika transparan, maka sinergi antara militer dan sipil bisa jadi model baru pembangunan sistem kesehatan di Indonesia.
TNI dan Masa Depan Kesehatan Nasional
Apapun polemiknya, TNI telah mengguncang status quo industri farmasi. Ia memaksa publik dan pemerintah berpikir ulang soal siapa yang berhak, mampu, dan wajib menjamin hak atas obat.
Jika dikelola bijak, ini bisa jadi model inspiratif. Tapi jika dibiarkan lepas kontrol, bisa berujung krisis kepercayaan dan ketimpangan baru.
Program TNI produksi obat murah membawa harapan sekaligus kecemasan. Di satu sisi, masyarakat terbantu dengan harga yang lebih ramah. Di sisi lain, pelaku industri swasta merasa tersingkir. Saat TNI memasuki ranah obat-obatan, pertanyaan besar muncul: apakah ini solusi jangka panjang atau hanya efek kejut sesaat?
Yang jelas, dengan sinergi, transparansi, dan akuntabilitas, langkah ini bisa menjadi fondasi baru bagi kemandirian farmasi nasional Indonesia.